Jumat, 23 Maret 2012

Zaafril Razief Amir : Lebih suka jadi pelaku usaha

Berbekal pengalaman sebagai birokrat, Zaafril Razief Amir memiliki obsesi menjadikan PT Asuransi Ekspor Indonesia (Asei) berbeda dengan perusahaan asuransi lainnya.

Lulusan pertama Universitas Indonesia untuk konsen trasi asuransi ini menginginkan BUMN yang dipimpinnya itu berkontribusi signifikan bagi peningkatan ekspor sekaligus menunjang perekonomian nasional, dan menjadi perusahaan sehat.

Kepada Bisnis Indonesia, pehobi golf ini menuturkan banyak tentang perjalanan karier, persaingan, hingga strategi kerja sama dan layanan kepada pelanggan. Petikannya:

Bagaimana perjalanan Anda menjadi orang nomor satu di Asei?


Saya kuliah di Universitas Indonesia mengambil jurusan akuntansi. Saat tingkat tiga, saya diberi beasiswa oleh perusahaan asuransi asal Jepang, termasuk untuk bekerja di perusahaan itu jika sudah lulus, tetapi tidak mengikat. Saya lulusan pertama UI untuk konsentrasi asuransi.

Saya diterima di Kemenkeu di bagian yang menjadi cikal Badan Kebijakan Fiskal. Jadi background saya manajemen asuransi, tetapi saya mengerjakan sesuatu yang makro, seperti perencanaan APBN dan analisis perbankan.

Saat dibentuk Ditjen Lembaga Keuangan. Saya menjadi direktur perbankan. Setelah itu, saya ditempatkan di bagian pendidikan, lalu ditempatkan di Asei, sebagai direktur operasional.

Sempat kembali ke Kemenkeu, saya ditugaskan lagi ke Asei menjadi direktur utama. Pada 2010, ketika saya berusia 56 tahun, saya mendapatkan pilihan kembali lagi ke Kemenkeu atau tetap di Asei dengan status pensiun.

Apakah Anda tidak merasakan canggung ketika pindah dari Depkeu ke Asei yakni beralih dari birokrat menjadi pelaku usaha?

Saat ini, saya sudah memiliki bermacam-macam latar belakang, menjadi birokrat, pembuat peraturan, pengawasan ketika di Direktorat Perbankan, dan juga latar belakang sebagai pelaku usaha.

 Kalau boleh jujur, saya lebih suka menjadi pelaku usaha. Ini lebih cocok dengan karakter saya, daripada jika saya di birokrasi.

Sebagai birokrat, terus terang ruang gerak untuk inovasi, kreativitas, dan improvisasi cenderung dibatasi. Tapi kalau di sini [Asei] saya bisa berinovasi apa saja. Bisa membuat produk baru, bekerja sama, menyusun strategi, menyusun skema-skema. Di Asei saya melakukan sendiri, membuat kebijakan sendiri, mengukur sendiri, begitu pun dalam mengangkat pegawai, saya harus berhitung.

Jauh lebih menantang di sini. Semuanya jelas. Tanggung jawab saya jelas. Hasilnya juga jelas. Misalnya kalau saya melakukan sesuatu maka hasilnya seperti apa dan kalau saya tidak melakukan hasilnya seperti apa. Saya suka itu, semuanya terukur, nyata. Saya jadi dapat melihat perkembangan seperti apa. Ketika menjadi birokrat tidak dapat seperti itu.

Bagaimana pasang surut mengelola Asei?

Tujuan lembaga seperti Asei itu mulia. Hampir semua negara besar memiliki ECA [export credit agency] seperti Asei, yaitu lembaga yang dibuat oleh pemerintah untuk mendorong ekspor. Biasanya di bawah perdana menteri, atau menteri, bahkan ada yang langsung di bawah pimpinan negara. ECA umumnya berformat government agency, seperti Bulog. Kalau untung labanya untuk kepentingan usahanya. Kalau rugi akan dibantu pemerintah.

Di luar negeri, bentuknya lembaga nirlaba milik pemerintah untuk meningkatkan ekspor. Lembaga ini tidak membayar dividen, tidak membayar pajak, dan kerugian operasional ditanggung pemerintah. Kinerjanya diukur berdasarkan seberapa besar membantu peningkatan ekspor.

Di sini, kami diperlakukan sebagai BUMN asuransi yang ter kena dua regulasi, yaitu regulasi BUMN dan asuransi. Sebagai asuransi, kami terkena ketentuan keuangan, permodalan, dan rasio solvabilitas. Sebagai BUMN, kami harus memperoleh laba, membayar pajak, dan membayar dividen.

Ukuran kinerja sama dengan perusahaan asuransi lain, seperti pendapatan premi, dan RBC (risk based capital).

Artinya kita punya misi mendorong ekspor, tetapi tidak boleh merugi dan harus sehat. Karena saya harus mendukung usaha kecil, dan usaha lemah, saya menjadi jauh lebih berisiko. Jadi tugas ECA di sini jauh lebih berat daripada ECA di luar negeri.

Akhirnya saya harus memilih nasabah yang aman bagi Asei. Padahal, sebetulnya yang perlu saya bantu adalah nasabah yang ti dak aman, yang kecil-kecil, yang tidak berpengalaman ekspor, dan tidak punya pengetahuan siapa pembeli dari luar negeri.

Ternyata yang masuk ke Asei adalah perusahaan-perusahaan besar yang standar opera sionalnya mengharuskan ionalnya mengharuskan mereka mengasuransikan risikonya. Dari kontribusi ke laba lebih besar, lebih enak untuk saya. Tetapi sebetulnya fungsi saya kan, harus mendukung usaha kecil. Nah, ini yang kurang terlak sana karena saya harus mengejar laba. Ini kegalauan saya.

Apakah itu tidak mengubah fungsi Asei sebagai ECA?


Fungsinya tetap ECA karena anggaran dasar menjadikan Asei sebagai ECA, ya itu ECA yang boleh menjalankan ke giatan asuransi umum dan penjaminan. Ada untung-ruginya. Untungnya, ASEI menjadi one stop service. Tidak ada ECA lain yang mempunyai empat usa ha sekaligus dalam satu atap. Kami punya.

Kerugiannya adalah tidak jelasnya Asei ini sebagai makhluk apa. Ini keg undahan saya. Fungsi pokok Asei jelas yaitu ECA, tetapi kegiatan asuransi umum mendominasi.

 Pernahkah Anda mengambil keputusan sulit dan dilematis? Seperti apa?

Keputusan yang menantang, yaitu meng ubah pola pikir dan etos kerja di sini. Pasalnya, Asei dikenal sebagai perusahaan yang uangnya banyak. Dulu kami hidup dari investasi, sedangkan penerimaan hasil penge lolaan premi kecil. Ketika krisis 1997--1998, saat bunga investasi tinggi, Asei jaya betul

Kami dulu punya captive market. Semua kre dit ekspor wajib diasuransikan ke Asei. Itu membuat mental kami cenderung menunggu penyaluran kredit ekspor bank, dan wajib diasuransikan ke Asei. Asei pun menjadi lembaga yang manja dan stafnya tak berkembang inisiatifnya.

Waktu saya masuk Asei, produknya itu-itu saja. Asei memang punya produk asuransi ekspor, asuransi kredit, surety ship, tetapi biasabiasa saja. Nasabah asuransi ekspor hanya 50 nasabah. Untuk asuransi kredit hanya punya kerja sama dengan satu bank. Surety ship-nya biasa-biasa saja. Asuransi umumnya hampir tidak berkembang.

Setelah diselidiki, ternyata tolak ukur kinerja ketika itu laba. Laba dari berhasilnya investasi di deposito sudah dianggap prestasi.

 Bagaimana Anda memersepsikan pelanggan?

Saya di perusahaan jasa, pelanggan pasti luar biasa untuk saya. Saya memberikan ser vis kepada perbankan dan eksportir. Bagi perbankan, saya dinilai dari konsistensi omongan. Ini yang saya jaga.

 Hal pertama yang saya janjikan adalah klaim pasti dibayar. Di perusahaan asuransi beredar anggapan jika bisa tidak bayar klaim maka tak akan bayar dengan alasan sedemikian rupa. Namun, saya memastikan di awal klaim harus dibayar. Treatment saya 2 minggu, boleh dibukti kan. Kalau ada yang berlama-lama dalam membayar klaim, saya marah sekali.

Saya tidak akan lari dari itu [bayar klaim]. Jadi, orang akan nyaman. Klien harus dilayani dengan baik. Kalau boleh jujur, modal tidak terlalu perlu untuk saya.

 Bagaimana terhadap pesaing?

Secara keberadaan, tidak ada asuransi ekspor lain di Indonesia. Namun, secara praktik ada, seperti Euler Hermes yang kantornya di Singapura.
Oleh karena itu, saya harus fight agar pengusaha kita lebih percaya lembaga di dalam negeri.

Untuk itu Asei bekerja sama dengan NEXI, ECA-nya Jepang. Wilayah kerjanya sudah dunia.
Saat saya datang sendiri untuk menjamin ekspor perusahaan-perusahaan Jepang di sini, mereka bertanya, kamu siapa. Tetapi ketika saya gandeng NEXI, mereka menjadi yakin. “Oo, NEXI..
NEXI..“

Bagaimana Anda menyiapkan atau memetakan Asei ke depan?


Asei itu luar biasa. Hal yang saya kembangkan adalah kepercayaan. Waktu saya datang pertama, yang saya jual adalah bahwa saya harus dipercaya. Sekarang alhamdulillah saya sudah mendapatkan kepercayaan dari ECA-ECA di luar negeri.

Kepercayaan itu paling penting. Saya bekerja sama dengan hampir semua ECA di Asia seperti Jepang, Korsel, China, India, Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, serta Uni Emirat Arab dan ECA-ECA di Timur Tengah. Penjaminan saya sudah bisa diterima di semua negara itu.

Saya ingin menggerakkan bank memberikan kredit kepada siapa pun yang saya tunjuk atas dasar kepercayaannya kepada saya dan penjaminan Asei. Jadi, saya tidak perlu tambahan modal, atau menjadi bank, untuk dapat menggerakkan potensi ekonomi itu.

Saya berharap perusahaan seperti ini lebih banyak lagi. Indonesia perlu penjamin-penjamin, seperti Asei.

Pernahkah Anda menghadapi karyawan yang menentang keputusan Anda?

Protes frontal tidak ada. Tapi diam-diam tidak dikerjakan, tidak mengerti, malu bertanya, ya, yang seperti itu. Orang yang punya visi dan ingin maju tidak banyak. Lebih banyak yang mau aman. Dari hari ke hari bekerja itu-itu saja. Produk tak dikembangkan. Pemikiran tidak dikembangkan.

Saya menganggap ini tantangan. Saya tidak bisa bekerja sendiri. Semua harus saya didik supaya berpandangan sama dengan pandangan CEO-nya.

Siapa orang di balik sukses Anda?

Banyak. Dari keluarga, tentu orang tua. Saya percaya tidak ada orang sukses kalau tidak baik pada orang tuanya. Berkah Allah itu melalui orang tua. Sukses itu luar dalam.

Kedua, atasan-atasan saya yang telah mendidik saya. Dan tentunya pemegang saham yang memberi kepercayaan luas untuk mengembangkan Asei.

Bagaimana Anda menyeimbangkan urusan pekerjaan dengan keluarga?

Itu sebetulnya persoalan klasik. Tetapi kalau bekerja dengan senang dan sepenuh hati, hasilnya beda. Kadang heran mengapa saya cukup kuat di sini, sejak awal bergabung hingga sekarang belum pernah absen. Kalau pulang dari luar negeri masih pukul 15.00 atau 16.00, saya pasti sempatkan ke kantor. Saya merasa Asei adalah anak saya yang harus saya jaga. Ada amanah.

Apa obsesi Anda yang belum tercapai?

Kalau urusan pribadi, saya ingin secepatnya menuntaskan anak-anak. Paling tidak, ya nikah semua. Tapi ternyata tidak bisa cepat, karena saya punya anak yang masih berusia 9 tahun.

Kedua, saya ingin membuat Asei berbeda.Asei harus punya peran, baik peran makro maupun peran mikro. Peran makro adalah menunjang perekonomian nasional dan menyumbang peningkatan ekspor. Peran mikronya menjadi perusahaan sehat.

0 komentar:

Posting Komentar