Kementerian Perumahan Rakyat menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1
tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman disusun dengan
sangat serius, komprehensif serta mempunyai landasan filosofis,
historis, sosiologis, yuridis, dan teologis yang kuat.
"Dalam perspektif filosofis, perumahan dan kawasan permukiman
mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta
kepribadian bangsa," kata Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, saat
ditemui di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 22 Maret 2012.
Menurut Djan, perumahan dan kawasan permukiman itu perlu dibina serta
dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta
penghidupan masyarakat.
Sementara itu, dalam perspektif historis,
Djan menjelaskan bahwa kebijakan pembangunan rumah murah dengan luas
bangunan 36 meter persegi telah berkembang sejak awal kemerdekaan
Republik Indonesia hingga saat ini.
"Hal ini dapat terlihat pada
awal pengakuan kedaulatan setelah usainya perjuangan fisik dari prakarsa
beberapa tokoh politik dan ahli dalam Kongres Perumahan Rakyat Sehat
pada 1950 dengan keputusan kongres yaitu luas rumah induk 36 meter
persegi dengan dua kamar tidur," ujarnya.
Djan melanjutkan, untuk
perspektif sosiologis, rumah dilihat sebagai tempat jati diri keluarga.
"Dengan adanya rumah, keluarga mempunyai kebanggaan," katanya.
Dia
menambahkan, dalam perspektif yuridis, merujuk pasal 28 H ayat 1 UUD
1945, pengaturan pasal 22 ayat 3 UU Perumahan merupakan upaya pemerintah
dalam penyediaan rumah tinggal bukan sekadar memenuhi standar fisik
bangunan.
"Melainkan juga harus bisa dijadikan sarana untuk interaksi anggota keluarga," kata dia.
Terakhir,
menurut dia, dalam perspektif teologi, dalam ajaran Islam rumah bukan
sekadar tempat tinggal, tapi merupakan wahana pemyemaian nilai-nilai
dalam rangka membentuk akhlak mulia.
"Itu berdasarkan hadist Nabi
Muhammad SAW yang menyatakan, suruhlah anak kalian mengerjakan salat
pada saat mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika
meninggalkan salat pada saat berumur 10 tahun, dipisahkan tempat tidur
mereka," ujarnya.
Untuk itu, Djan berkeyakinan bahwa ketentuan
pasal 22 ayat 3 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman terkait batasan
rumah minimal tipe 36 tidak sedikit pun mengandung unsur merugikan
secara konstitusional bagi masyarakat Indonesia.
"Karena ketentuan a quo berkesesuaian secara vertikal dengan pasal 28 H ayat 1, pasal 27 dan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945," tuturnya.
Seperti diketahui, pengembang yang terdiri atas Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia mengajukan judicial review UU Perumahan dan Kawasan Permukiman pasal 22 ayat 3 ke Mahkamah Konstitusi.
Bahkan, pengamat properti menilai batasan rumah minimal tipe 36
menjadikan aturan baku yang meresahkan pasar. Lengkapnya, silakan baca tautan ini. (art)
Sumber: vivanews.com
0 komentar:
Posting Komentar